Oleh; Islaminur Pempasa, Anggota Dewan Redaksi HU Pikiran Rakyat
APA yang tidak dikorupsi di Indonesia? Pertanyaan ini bakal lebih sulit dijawab dibandingkan dengan pertanyaan ”apa yang dapat dikorupsi di negeri kita ini”.
Saya coba Google, mengetikkan frasa ”korupsi di bidang pendidikan”. Hanya perlu 0,42 detik, situs pencari ini mengeluarkan 462.000 hasil, mulai dari pembahasan soal korupsi hingga kasus-kasus korupsi.
Dalam daftar itu, ada berita di akhir 2016, bersumber dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengumumkan hasil temuan korupsi di bidang pendidikan, dalam kurun 2006-2015, mencapai Rp 1,3 triliun. Angka itu tentu saja bukan seluruh kerugian, melainkan hanya dari penanganan 425 kasus dan melibatkan 618 tersangka yang ketahuan.
Saya tikkan lagi frasa “korupsi di bidang hukum”. Hanya dalam 0,45 detik, keluar 751 hasil. Dalam salah satu teksnya, disebut bahwa korupsi di sektor ini merupakan kejahatan “kelas tinggi”. Soal angka dan pelaku, mulai dari penegak hukum di daerah hingga “kelas tertinggi” yang melibatkan pejabat di Mahkamah Agung, bahkan hakim Mahkamah Konstitusi, sudah ada contohnya.
Begitu pula dari segi pelaku di berbagai tingkat pemerintahan. Sejak dibentuk Tim Saber Pungli, muncullah berita-berita pengungkapan kasus korupsi di tingkat kepala desa, pegawai desa, dan kecamatan. Lumayanlah karena tim saber yang dibentuk di daerah juga perlu terlihat bekerja meski mungkin, sementara ini, baru sebatas berani menggali korupsi di otoritas lebih rendah.
Makin tinggi levelnya, tentu saja makin tinggi nilai korupsinya. Di tingkat pusat, korupsi bukan saja menggerogoti proyek. Terkadang, ditemukan proyek memang dibuat untuk dikorupsi, contohlah proyek Hambalang.
Proyeknya sampai sekarang tidak rampung karena bukan itu tujuannya. Nilai korupsi di tingkat lebih tinggi juga lebih besar. Korupsi di proyek nasional KTP elektronik, misalnya, diduga mencapai Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Satu korupsi ini saja, jika disandingkan dengan biaya membangun yang “kecil-kecil”, misalnya untuk sekolah atau jembatan, tentu bisa ribuan jumlahnya.
Tentu saja uang korupsi sebesar itu tidak digunakan untuk sendiri, tetapi dibagi-bagi kepada sesama elite dan tokoh-tokoh. Seorang pejabat setingkat kepala dinas di Kota Bandung yang tertangkap tangan melakukan korupsi, diberitakan sudah rutin mendapat pemasukan setidaknya Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per bulan dari “bagi-bagi” hasil pungutan liar. Ini di luar penghasilan resmi, gaji, dan berbagai tunjangan.
Uang yang seharusnya disalurkan untuk pembangunan sebagian terhenti. Tentu saja, masyarakat yang menjadi korban keroposnya pembangunan, seperti anak sekolah yang tertimpa atap sekolah yang runtuh meski relatif baru dibangun.Ah, tapi ini mungkin klise, bangunan sekolah yang ambruk itu banyak. Peraturan-peraturan yang tergadai untuk pemodal besar yang mematikan usaha rakyat sendiri juga tidak sedikit.
Melihat rentang pelaku –mulai dari pegawai desa hingga menteri dan pejabat tinggi negara – dan jumlah uang yang ketahuan dikorupsi, mungkin akan membuat kita tercengang. Saya belum menemukan berita atau narasumber yang bisa menyebutkan angka pasti dari semua kerugian itu.
Mungkin jadi pekerjaan besar dan memakan waktu untuk mengumpulkan nilai korupsi di semua tingkat dan pelaku. Apalagi jika bisa sampai pada angka korupsi yang belum terungkap meski fenomenanya telah menjadi pembicaraan sehari-hari.
LALU, soal untuk apa uang itu digunakan, setidaknya ada penjelasan sederhana, yakni untuk memenuhi dua kebutuhan besar: konsumsi dan investasi. Di tingkat individu dan rumah tangga, konsumsi bisa dilihat dari pemenuhan kebutuhan hidup.
Ketika mendapat uang lebih, tentu saja konsumsi dapat meningkat dengan penambahan aksesori gaya hidup. Belanja konsumsi dalam memenuhi gaya hidup ini bisa tidak terbatas, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, hingga kendaraan.
Selain itu, dengan kelebihan uang yang dimiliki, kita otomatis berpikir untuk melakukan investasi, baik investasi usaha maupun kepemilikan sumber daya. Oleh karena itu, nilai korupsi yang masif di berbagai tingkat dan besaran ini pasti berkontribusi terhadap belanja konsumsi (terutama konsumsi terkait dengan gaya hidup yang tidak terbatas itu tadi) dan investasi. Bahasa netralnya, elite capture. Akan tetapi, kalau dari sumber korupsi, perlu istilah yang lebih pas.
Mengingat belum ada angka dan proporsi resmi, saya hanya berani mengelompokkan angka-angka ini sebagai shadow number (angka bayangan) dalam aktivitas ekonomi –di tingkat individu, rumah tangga, hingga tingkat regional dan nasional– yang menjadi penggerak ekonomi. Mungkin ini menjadi tantangan bagi para ekonom untuk mengakui dan menghitung kontribusi “angka bayangan” dalam aktivitas ekonomi di berbagai level tersebut.
Memang masih terdapat kesenjangan pengetahuan mengenai peran “angka bayangan” ini dalam ekonomi. Namun, faktanya, pertumbuhan ekonomi kita memiliki keunikan –dan keanehan– tersendiri. Pertumbuhan ekonomi yang bertahun-tahun terus bergantung pada konsumsi dan gini ratio atau rasio ketimpangan yang membesar.
Kalau di tingkat individu sih, ada ungkapan bahasa Sunda yang agak-agak bisa menjelaskan fenomena “angka bayangan” dan mungkin bisa dihitung sendiri-sendiri, yaitu duit lalakina. Agak-agak mirip saja karena duit lalakina bisa bukan hasil korupsi. hahaha.
—————
Artikel ini telah dimuat di Pikiran Rakyat
Terima kasih telah berkunjung ke instabaca.com